Tentang Perjalanan Singkat


Hai, saya kembali bercerita lagi. Tapi kali ini bercerita tentang segala kekecewaan dan amarah saya mengenai perjalanan yang sudah saya bayangkan akan menjadi perjalanan seru.

Segala persiapan acara sudah saya siapkan bersama teman kantor. Ini acara tahunan kantor, sebagai penyegaran bagi pegawai yang setiap hari menyapu jalan, membersihkan saluran dan berbagai pekerjaan lainnya untuk menjaga lingkungan di wilayah ini tetap baik.

Saya sudah membayangkan setiap acara seru, karena sudah dipersiapkan segalanya; nomor undian dan bermacam-macam challenge untuk mengisi acara.

Sebelum berangkat saya sudah dibuat lelah dengan segala turun tangannya. Padahal sudah diatur supaya tidak kena macet dan bisa menjalankan ibadah sholat jumat di rest area. Tapi dia berkata lain dan ingin mengatur segalanya.

Sesampainya di tempat acara, dia kembali mengatur  bahkan membuat acara berantakan dan nggak karuan. Ketika semua seperti benang kusut, dia mundur perlahan dan tidak ambil alih. Bahkan dia pulang begitu saja. Dan kekesalan ini saya simpan.

Tidak berakhir di acara saja, ketika semua menikmati hiburan, entah darimana tiba-tiba muncul segerombolan anak muda datang tanpa sopan santun. Ada yang bertolak pinggang sampai jalan melewati kami begitu saja. Satu diantara mereka adalah anaknya. Saya paham sampai sini. Tanpa ragu dan takut, saya menghubungi ibunya. Dan benar, semua yang dia lakukan semata-mata karena tidak mau rugi akan fasilitas yang dia dapat. Selagi dia tidak bisa menemani kami, maka posisi kamar tidurnya diperuntukkan anaknya.

Dada saya sesak, mengingat biaya perjalanan bukan harga yang murah bagi sebagian pekerja. Dan biaya lain yang sudah dikeluarkan bukan dari kantongnya. Mengingat beberapa pekerja ini ada yang tidak kebagian tempat untuk istirahat.

Saya mundur dari tempat acara, memilih mengalihkan amarah dengan hal lain. Ternyata itu hanya sesaat. Ketika waktu sudah dini hari, saya melihat dapur sangat kotor sekali. Dan para wanita-wanita itu hanya duduk mengobrol. Sudahlah lebih baik dibersihkan tanpa berbicara. Pikir saya.

Saya pulang dalam keadaan kurang tidur, lelah dan emosi yang tidak karuan.
Saya cerita pun rasanya tidak cukup untuk mengeluarkan segala emosi. Puncaknya ketika saya kembali ke pelukan suami, saya menangis sejadinya. Lama-lama tangisan itu reda dan segala emosi pun reda. Saya tidak perduli dibilang orang yang dikit-dikit marah atau terlalu bawa perasaan. Saya hanya tidak bisa terlalu lama memendam amarah atau saya diam saja melihat sesuatu yang salah.


Komentar